Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift (kerja malam) merupakan
sumber utama dari stress bagi para pekerja pabrik (Monk dan Tepas, 1985). Para
pekerja shift (pekerja malam) lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan
gangguan perut dari para pekerja pagi atau siang dan dampak dari kerja shift
terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.
Pengaruhnya adalah emosional dan biologikal, karena gangguan ritme sirkadian
(jam biologis tubuh) dari tidur atau daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan
ritme pengeluaran adrenalin.
Menurut Monk dan Folkard (1983) ada tiga faktor yang harus baik
keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja shift, yaitu:
·
tidur;
·
kehidupan sosial dan
keluarga;
·
ritme sirkadian.
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan, sehingga salah satu
dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang dicapai dengan kedua
faktor lain.
Menurut Selye para pekerja yang biasa bekerja shift lama
kelamaan akan merasa berkurang stresnya secara fisik. Namun perlu diingat bahwa
ada pekerjaan-pekerjaan shift dimana tidak dapat timbul kebiasaan ini, yaitu
pada pekerja rig lepas pantai yang bekerja 12 jam kerja bergantian shift siang
dan malam selama 7 atau 14 hari berturut-turut tanpa adanya istirahat, dan kemudian
memperoleh istirahat 7 atau 14 hari cuti rumah (Satherlan dan Cooper, 1986)
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Shift Kerja
Menurut Tepas dan Monk pengertian kerja shift
sangat bervariasi, tergantung dari sistem shiftnya. Dalam hal shift rotasi,
pengertian kerja shift adalah kerja yang dibagi secara bergiliran dalam waktu
24 jam. Pekerja yang terlibat dalam sistem kerja shift rotasi akan berubah-ubah
waktu kerjanya, pagi, sore, dan malam hari, sesuai dengan sistem kerja shift
rotasi yang ditentukan.
Sistem kerja shift rotasi ada yang bersifat lambat, ada yang
bersifat cepat. Dalam sistem kerja shift rotasi yang bersifat lambat,
pertukaran shift berlangsung setiap bulan atau setiap minggu, misalnya seminggu
kerja malam, seminggu kerja sore, dan seminggu kerja pagi. Sedangkan dalam
sistem kerja shift rotasi yang cepat, pertukaran shift terjadi setiap satu, dua
atau tiga hari.
Menurut Grandjean, sampai tahun 1960an,
interval rotasi kerja shift dibuat selama mungkin, sekitar 3 – 4 minggu. Dasar
pemikiran saat itu adalah bahwa para pekerja shift memerlukan waktu yang cukup
lama untuk dapat beradaptasi dengan jadwal kerja shift rotasi yang baru. Namun
sekarang ternyata dasar pemikiran tersebut tidak tepat. Setelah beberapa minggu
pun para pekerja sebenarnya tidak dapat beradaptasi dengan baik, terutama dalam
hal tidur. Oleh karena itu disarankan untuk menggunakan sistem kerja shift
rotasi yang cepat.
Di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, sistem kerja shift
rotasi yang umum digunakan adalah sistem 2 – 2 – 2 yang disebut dengan sistem metropolitan
rota, dan sistem 2 – 2 – 3
yang disebut dengan continental rota. Kedua sistem ini termasuk sistem kerja shift rotasi cepat yang
mengikuti rekomendasi ergonomik yang terbaru.
Minggu
|
Hari
|
Shift
|
Minggu
|
Hari
|
Shift
|
|
1
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Pagi
Pagi
Sore
Sore
Malam
Malam
Libur
|
5
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Malam
Malam
Libur
Libur
Pagi
Pagi
Sore
|
|
2
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Libur
Pagi
Pagi
Sore
Sore
Malam
Malam
|
6
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Sore
Malam
Malam
Libur
Libur
Pagi
Pagi
|
|
3
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Libur
Libur
Pagi
Pagi
Sore
Sore
Malam
|
7
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Sore
Sore
Malam
Malam
Libur
Libur
Pagi
|
|
4
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Malam
Libur
Libur
Pagi
Pagi
Sore
Sore
|
8
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Pagi
Sore
Sore
Malam
Malam
Libur
Libur
|
Tabel 1: Sistem Shift 2 – 2 – 2
Minggu
|
Hari
|
Shift
|
Minggu
|
Hari
|
Shift
|
|
1
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Pagi
Pagi
Sore
Sore
Malam
Malam
Malam
|
3
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Malam
Malam
Libur
Libur
Pagi
Pagi
Pagi
|
|
2
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Libur
Libur
Pagi
Pagi
Sore
Sore
Sore
|
4
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
|
Sore
Sore
Malam
Malam
Libur
Libur
Libur
|
Tabel 2: Sistem Shift 2 – 2 – 3
Pada sistem 2 – 2 – 2, hari libur Sabtu dan Minggu akan terjadi
setiap delapan minggu, sedangkan pada sistem 2 – 2 – 3, hari libur Sabtu dan
Minggu akan terjadi setiap empat minggu. Oleh karena itu, para pekerja umumnya
lebih menyukai sistem 2 – 2 – 3.
Di Amerika jadwal sistem kerja shift rotasi yang umum adalah 5 –
5 – 5 (5 hari pagi, 5 hari siang, 5 hari malam, diikuti dengan 2 hari libur
pada setiap akhir shift). Kerja shift pagi biasanya dimulai antara pukul 5 – 8
pagi, berakhir pukul 2 – 6 sore. Sistem kerja shift rotasi sore dimulai antara
pukul 2 – 6 sore, berakhir antara pukul 10 – 2 tengah malam, sedangkan sistem
kerja shift rotasi malam dimulai antara pukul 10 – 2 tengah malam, berakhir
pukul 5 – 8 pagi.
Sistem kerja shift rotasi ini juga dapat menimbulkan efek
negatif, disamping itu pula menimbulkan hal-hal yang positif. Dampak negatif
sistem kerja shift rotasi antara lain rendahnya kuantitas dan kualitas tidur,
gangguan kehidupan keluarga dan kehidupan sosial, keluhan pencernaan dan
jantung, dan masalah-masalah kesehatan mental. Sistem kerja shift rotasi juga
sering dihubungkan dengan ketidakhadiran kerja, penurunan performance, dan kecelakaan di
tempat kerja, sedangkan dampak positifnya antara lain dapat meningkatkan
pendapatan, memberikan lingkungan kerja yang sepi dan memberikan waktu libur
yang lebih banyak.
Dampak sistem kerja shift rotasi terhadap individu akan berlainan
tergantung dari perbedaan-perbedaan individual yang ada. Beberapa perbedaan
individual tersebut antara lain, tipe circadian (tipe siang-tipe malam), tipe
kepribadian (extrovert-introvert), usia, jenis kelamin, kehamilan, kebugaran fisik,
fleksibilitas tidur, dan kemampuan untuk mengatsi rasa kantuk. Individu yang
kurang mampu mengatasi rasa kantuk, atau menderita penyakit tertentu, memiliki
tolerasi yang lebih rendah terhadap sistem kerja shift dibandingkan dengan
individu yang mampu mengatasi rasa kantuk, atau individu yang sehat. Toleransi
yang rendah menunjukkan sikap yang negatif terhadap sistem kerja shift.
Waktu kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan
produktivitasnya. Segi-segi terpenting bagi persoalan waktu kerja meliputi:
1.
Lamanya seseorang mampu
bekerja secara baik.
2.
Hubungan antara waktu
kerja dengan istirahat.
3.
Waktu bekerja dalam
sehari menurut periode yang meliputi siang (pagi, siang, sore) dan malam.
Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya adalah
6 – 8 jam. Sisanya (16 – 18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga
dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lainnya. Memperpanjang waktu kerja lebih
dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai effisiensi yang tinggi, bahkan
biasanya akan terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan timbulnya
kelelahan, penyakit, dan kecelakaan. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat
bekerja dengan baik selama 40 – 50 jam. Lebih dari itu, akan terlihat
kecenderungan timbulnya hal-hal yang negatif. Makin panjang waktu kerja, makin
besar kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Jumlah 40 jam waktu
kerja dalam seminggu ini dapat dibagi menjadi 5 atau 6 hari kerja, tergantung
dari beberapa faktor.
Jika diteliti suatu pekerjaan yang biasa, tidak terlalu berat
ataupun juga ringan, produktifitasnya akan mulai menurun setelah 4 jam bekerja.
Keadaan ini terutama akan sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah.
Untuk hal ini, perlu istirahat dan kesemapatan untuk makan yang akan
meninggikan kembali kadar bahan bakar dalam tubuh. Oleh karena itu, istirahat
setengah jam setelah 4 jam bekerja terus-menerus sangat penting artinya.
B. Sikap
Terhadap Sistem Kerja Shift Rotasi
Sama halnya dengan sikap tehadap objek-objek lainnya, sikap
terhadap sistem kerja shift rotasi terbentuk karena adanya interaksi antara
faktor-faktor yang berasal dari diri individu (faktor internal) dan
faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu (faktor eksternal). Faktor
internal antara lain tipe kepribadian, tipe sirkadian, usia dan fleksibilitas
tidur, sedangkan faktor eksternal antara lain sistem kerja shift, kondisi kerja
dan karakteristik pekerjaan. Perubahan faktor-faktor internal dan atau
eksternal akan mempengaruhi sikap individu terhadap sistem kerja shift rotasi.
Penelitian-penelitian tentang sikap terhadap sistem kerja shift
rotasi memberikan hasil yang tidak konsisten. Hal ini tidak saja karena
interaksi variabel-variabel personal, sosial dan organisasi yang diteliti,
tetapi juga karena pengaruh dari alat ukur yang digunakan (Golec, 1993)
Menurut Nachreiner (dalam Golec, 1993), indikator dari sikap
terhadap sistem kerja shift rotasi adalah aspek positif dan negatif dari sistem
kerja shift tersebut. Aspek positifnya adalah peningkatan keuangan dan
lingkungan kerja yang sepi, sedangkan aspek negatifnya adalah peningkatan
ketidakhadiran kerja, gangguan kesehatan dan masalah sosial. Di sisi lain, Rosa
dan Colligan (1997) mengatakan bahwa aspek positif dari sistem kerja shift
rotasi adalah peningkatan pendapatan serta mempunyai banyak waktu di siang
hari, sedangkan aspek negatifnya adalah gangguan tidur, masalah produktivitas
dan keselamatan kerja, gangguan kehidupan keluarga dan hubungan sosial, serta
gangguan kesehatan (fisik dan psikis).
Dalam penelitian ini, pengukuran sikap terhadap sistem kerja
shift rotasi mengacu pada aspek positif dan negatif dari sistem kerja shift
rotasi yang dikemukakan oleh Nachreiner dan Rosa & Colligan.
Pernyataan-pernyataan pada skala sikap merupakan representasi dari permasalahan
sistem kerja shift rotasi secara umum.
Dalam hal periode kerja siang atau malam. Sehubungan dengan
kerja malam ini, dapat dikemukakan hal-hal sebagi berikut:
1.
Irama faal manusia
sedikit atau banyak akan terganggu oleh kerja dengan shift malam karena akan
tidur pada siang harinya. Fungsi-fungsi fisiologis tenaga kerja dapat
disesuaikan sepenuhnya dengan irama kerja yang demikian. Hal ini mudah
dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran seperti suhu badan, nadi, tekanan
darah, dan lainnya dari orang yang bekerja dengan shift malam dibandingkan
dengan waktu bekerja pada siang hari. Semua ini sekarang banyak dipelajari
dalam ilmu kronobiologi dalam aspek irama hayati.
2.
Demikian pula
metabolisme tubuh tidak semuanya dapat, bahkan banyak aspek-aspek yang sama
sekali tidak dapat diadaptasi dengan bekerja pada malam hari dan tidur siang
hari. Keseimbangan elektrolit sebagai akibat albumin dan klorida di darah dapat
menyesuaikan diri dengan keperluan kerja malam, tetapi pertukaran zat-zat
seperti kalium, sulfur, fosfor, mangan, dan lainnya sangat kuat terikat oleh
sel-sel, sehingga dengan pergantian waktu kerja dari siang menjadi malam tidak
dapat mempengaruhinya. Dengan kata lain, metabolisme zat-zat terakhir tidak
dapat diserasikan dengan keperluan kerja malam.
3.
Kelelahan pada kerja
malam sangat relatif sangat besar. Karena antara lain ialah faktor faal dan
metabolisme yang tidak dapat diserasikan. Hal penting lainnya adalah sangat
kuatnya kerja saraf parasimpatis dibandingkan dengan saraf simpatis pada malam
hari. Padahal seharusnya untuk bekerja, simpatis harus melebihi kekuatan
parasimpatis.
4.
Jumlah jam kerja yang
dipakai untuk tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih
kecil dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana siang hari seperti
kebisingan, suhu, pencahayaan, dan lainnya dan oleh karena kebutuhan tubuh yang
tidak dapat diubah seluruhnya menurut kebutuhan, yaitu terbangun karena
dorongan rasa lapar atau ingin buang air kecil yang relatif lebih banyak pada
siang hari.
5.
Alat pencernaan
biasanya tidak berfungsi secara normal pada kerja kondisi demikian. Oleh karena
itu jumlah makanan yang diambil relatif lebih sedikit, sedangkan pencernaan pun
tidak bekerja dengan baik dalam metabolisme makanan.
6.
Kurang tidur dan
kurang berfungsinya alat pencernaan berakibat pada penurunan berat badan.
7.
Selain soal biologis
dan faal, kerja malam sering kali disertai dengan reaksi psikologis sebagai
suatu mekanisme defensif terhadap gangguan tubuh akibat ketidakserasian tubuh
terhadap pola kerja malam. Akibat dari itu, keluhan-keluhan akan banyak
ditemukan pada tenaga kerja yang bekerja pada malam hari.
8.
Pengaruh-pengaruh
kerja malam tersebut biasanya bersifat kumulatif. Makin panjang giliran kerja
malam, makin besar efek yang dimaksud.
C.
Kepribadian
Masing-masing ahli mengemukakan definisi mereka tentang
kepribadian. Oleh karena itu tidak heran jika ditemukan lebih dari lima puluh
definisi kepribadian. Namun jika dikelompok-kelompokan berdasarkan cara
pendekatannya, ada dua kelompok teori yaitu:
1.
Teori-teori dengan
pendekatan tipelogis, antara lain teori Plato dan Heymans.
2.
Teori-teori dengan
pendekatan sifat (traits approach), antara lain teori
Allport, Freud, Jung, dan Eysenk.
Pendekatan tipologis beranggapan bahwa kepribadian manusia
ditentukan oleh komponen-komponen dasar yang mendominasi individu. Komponen
tersebut dapat berupa cairan tubuh, bentuk tubuh atau temperamen. Pendekatan
sifat beranggapan bahwa variasi kepribadian manusia ditentukan oleh sifat-sifat
tertentu yang relatif stabil dan menetap. Sifat-sifat ini yang membedakan satu
individu dengan individu lainnya, sehingga dapat dianggap sebagai variabel
perbedaan individu (Hall & Lindzey, 1978).
Konsep sifat didasarkan atas tiga asumsi, yaitu:
1.
Individu memiliki
ciri-ciri internal atau sifat yang relatif stabil
2.
Perbedaan perilaku
individu sejalan dengan perbedaan ciri-ciri tersebut
3.
Apabila perbedaan
individu ini dapat dikenali dan diukur, perbedaan tersebut berguna untuk
mencirikan kepribadian mereka.
Teori sifat merupakan teori yang paling banyak digunakan dalam
penelitian karena teori ini paling banyak memberikan bukti-bukti empiris. Salah
satu teori sifat yang diterima dan digunakan secara luas adalah teori dimensi
kepribadian Eysenck (Suryabrata, 1998; Boeree, 2000). Menurut Eysenck (1976),
kepribadian adalah…
“the sum-total of actual or potensial
behavior-patterns of the organism as determined by heredity and environtment;
it originates and develops through the functional interaction of the four main
sectors into which these behavior patterns are organized: the cognitive sector
(intellegence), the conative sector (character), the affective sector
(temperament), and somatic sector (constitution).
Eysenck percaya bahwa dasar dari kepribadian meliputi faktor
genetik, fisiologi dan lingkungan. Individu lahir dengan sistem saraf tertentu
yang kemudian berinteraksi dengan predisposisi biologis dan kondisi lingkungan
membentuk sutau kepribadian tertentu.
Menurut Eysenck ada dua dimensi pokok kepribadian. Dimensi kedua
adalahextraversion-introversion.
Dimensi pertama berkaitan dengan gangguan perasaan (neuroticism). Dari penelitian
yang dilakukannya, Eysenck menemukan bahwa orang-orang yangnervous (was-was, resah)
cenderung lebih rentan atau lebih mudah mengalami gangguan perasaan,
dibandingkan dengan orang-orang yang stabil emosinya. Jadi, pada sisi ekstrem yang satu, terdapat
golongan yang mudah terganggu perasaannya seperti was-was, resah dan mudah
tersinggung, sedangkan di sisi lain terdapat golongan yang emosinya stabil dan
tenang.
Menurut Eysenck, kondisi ini ada hubungannya dengan sistem saraf sympathetic. Sistem saraf ini
berfungsi mengontrol reaksi emosional manusia pada situasi-situasi darurat.
Sebagian individu mempunyai sistem saraf sympathetic yang lebih responsif
daripada sebagian individu lainnya. Beberapa individu menghadapi situasi
darurat dengan santai, yang lain dengan sedikit rasa takut, tetapi sebagian
lagi merasa sangat takut bahkan oleh kecelakaan kecil saja.
Dimensi kedua adalah extraversion-introversion. Dimensi ini juga
memiliki dua sisi. Di satu sisi disebut kepribadian extravert, di sisi lain disebut
kepribadianintrovert. Kelompok extravert lebih suka bergaul
dalam masyarakat. Kelompok ini berkepribadian aktif, impulsif, optimis, suka
berteman, tidak peduli, berpikir praktis, serta berorientasi pada hal – hal
yang memberi rangsangan dan berani ambil resiko. Sedangkan kelompok introvert lebih senang sendiri.
Kelompok ini cenderung pemalu, pendiam, pasif, terkendali, bertanggung jawab,
bertindak hati–hati dan berpikir reflektif atau banyak pertimbangan.
Menurut Eysenck, perbedaan sifat ini ditentukan berdasarkan
keseimbangan proses excitation dan inhibition yang terjadi dalam sistem saraf pusat. Excitationadalah proses otak
mem”bangun”kan dirinya (waking itself up), menjadi siaga dan
siap belajar. Sedangkan inhibition adalah proses otak
me”nenang”kan dirinya (calming itself down) baik dengan cara
bersantai atau tidur, atau dengan menjaga dirinya dari stimulasi lingkungan.
Seorang extravert mempunyai inhibition yang kuat dan baik.
Jika ia berhadapan dengan stimulasi yang traumatik, misalnya dengan kecelakaan
mobil, otaknya langsung menenangkan diri sehingga ia tidak merasakan dampak
mental yang kuat dari kejadian tersebut. Oleh karena itu, keesokan harinya ia
mungkin sudah siap untuk mengendarai mobil lagi. Sedangkan seorang introvert mempunyaiinhibition yang lemah dan kurang
baik. Jika dihadapkan pada situasi di atas, otaknya tidak secara cepat
menenangkan diri sehingga ia tetap siaga serta mampu mengingat semua yang
terjadi. Oleh karena itu, sangat mungkin ia tidak mau lagi mengendarai mobil.
Dalam penelitian ini, dimensi yang diteliti adalahextraversion-introversion. Menurut Eysenck,
dimensi tersebut dapat diandalkan dalam melihat perbedaan perilaku individu.
Dimensi pertama,neurocitismstability tidak menjadi fokus
penelitian karena dimensi tersebut terkait adanya gangguan perasaan.
Ada tujuh aspek yang terkandung dalam pengertian extraversion-introversion(Boeree, 2000) yaitu:
1. Activity
Aspek ini berkaitan dengan faktor aktivitas. Individu yang
cenderung extravertbiasanya aktif dan energik, menyukai aktivitas fisik, termasuk
kerja keras dan olah raga serta memiliki minat yang bervariasi. Dilain pihak,
individu yang cenderung introvert biasanya terkesan
kurang aktif. Mereka lebih senang memi.kirkan sesuatu daripada melakukan
sesuatu. Mereka menyukai aktivitas yang tidak terburu-buru.
2. Sociability
Sociability adalah kemampuan
bermasyarakat. Individu yang cenderungextravert menyukai pergaulan,
pesta-pesta dan acara-acara sosial, cenderung mencari dan membina hubungan
dengan orang lain, serta merasa senang bertemu dengan orang-orang yang baru
dikenalnya. Di sisi lain, individu yang cenderung introvert lebih memilih
mempunyai teman-teman dekat dan lebih menikmati melakukan sesuatu sendirian.
Mereka cenderung merasa cemas jika berhubungan dengan orang lain. Walaupun
mereka sendiri tidak merasa ada sesuatu yang kurang, bagi orang lain mereka
terlihat sebagai orang yang terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri, dan
mungkin juga kurang ramah.
3. Risk Taking
Aspek ke tiga adalah faktor pengambilan resiko (risk taking). Individu yang
tergolong extravert mencari ”reward” dengan resiko sekecil mungkin. Mereka
beranggapan bahwa faktor resiko merupakan bumbu kehidupan. Mereka juga tidak
takut pada perubahan atau pengungkapan perasaan. Di lain pihak, individu yang
tergolong introvert lebih menyukai kebiasaan keamanan dan keselamatan, bahkan jika
itu berarti mengorbankan sebagian kesenangan hidupnya. Mereka cenderung
dikuasai perasaan takut.
4. Impulsiveness
Aspek ke empat berkaitan dengan keimpulsif-an (impulsiveness). Individu yang
termasuk extravert cenderung menunjukkan ciri kepribadian yang impulsif, bertindak
tanpa dipikirkan dahulu, membuat keputusan secara tergesa-gesa tanpa informasi
yang memadai, biasanya riang tidak ada yang dipikirkan (carefree), mudah berubah dan
tidak bisa diramalkan. Di sisi lain, individu yang termasuk introvert sangat berhati-hati
dalam membuat keputusan dan menyukai sesuatu yang dapat dikontrol oleh dirinya.
Mereka sistematik, teratur, berhati-hati dan bertanggung jawab secara
sungguh-sungguh. Mereka kurang spontan dan dikendalikan oleh rasa takut.
5. Expresiveness
Expresiveness adalah kemampuan untuk
menyatakan atau mengungkapan perasaan-perasaan cinta, benci, sedih, marah atau
takut, secara terbuka dan dapat diamati. Individu yang tergolong extravert menunjukkan
kecenderungan perasaan secara demonstratif, dan mudah berubah. Di lain pihak,
individu yang tergolong introvert lebih banyak
menyembunyikan perasaan. Mereka mencoba mengubur rasa marah di masa lalu dan
membiarkan diri frustasi dan menganggap semua tidak pernah terjadi.
6. Reflectiveness
Reflectiveness adalah memikirkan atau
membayangkan. Individu yang cenderungintrovert berminat terhadap
pengetahuan tetapi lebih untuk diri sendiri, bukan untuk diterapkan secara
praktis. Mereka senang berpikir, intsropeksi dan banyak pertimbangan sebelum
melakukan tindakan. Mereka menyukai ide-ide, hal-hal yang abstrak dan
renungan-renungan. Kesenangan terhadap ide-ide intuitif ini merupakan dasar
dari kreativitas. Di sisi lain, individu yang cenderungextravert cenderung lebih
praktis. Mereka lebih senang melakukan sesuatu daripada memikirkan sesuatu.
7. Responsibility
Responsibility (tanggung jawab)
adalah sifat yang dimiliki individu yang cenderung introvert. Mereka berhati-hati,
dapat dipercaya dan sungguh-sungguh. Di lain pihak, individu yang cenderung extravert cenderung sembarangan,
kurang peduli dan kurang bertanggung jawab dibandingkan dengan individu yang introvert, serta tidak dapat
diramalkan.
D.
Circadian
Istilah circadian pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Franz
Halberg, seorang berkebangsaan Jerman pada tahun 1959, untuk menjelaskan
terjadinya perubahan fungsi-fungsi tubuh pada diri manusia. Istilah ini berasal
dari bahasa latin, circa yang berarti ”sekitar” dan dies yang berarti “satu
hari”. Jadi yang disebut circadian adalah perubahan fungsi-fungsi tubuh pada
diri manusia yang terjadi dalam satu hari. Karena perubahan fungsi-fungsi tubuh
tersebut mengikuti satu ritme tertentu, maka konsep circadian ini lebih dikenal
dengan sebutan ritme circadian (circadian rhytm).
Rosa dan Colligan (1997) mendefinisikan ritme circadian sebagai
suatu ritme tubuh yang ”ups” dan ”down” yang secara teratur dalam rentang waktu
kurang lebih 24 jam. Fungsi-fungsi tubuh yang dimaksud antara lain suhu badan,
kesiagaan, detak jantung, tekanan darah, pola tidur-bangun, serta kemampuan
mental. Fungsi-fungsi tubuh tersebut akan meningkat atau sangat aktif pada
siang hari tetapi akan menurun atau tidak aktif pada malam hari. Masa selama
siang hari disebut sebagai fase ergotropic dimana kinerja manusia
berada pada puncaknya, sedangkan masa malam hari disebut fase trophotropic dimana terjadi proses
istirahat dan pemulihan tenaga.
Ritme circadian merupakan salah satu bentuk ritme biologis.
Bentuk ritme biologis lainnya adalah ritme Ultradian dan ritme Infradian. Ritme
Ultradian adalah ritme perubahan fungsi-fungsi tubuh yang terjadi dalam rentang
waktu kurang dari 2 jam, misalnya ritme tubuh yang terjadi pada saat tidur atau
saat individu sedang mengamati sesuatu, sedangkan ritme Infradian adalah
perubahan fungsi-fungsi tubuh yang terjadi dalam rentang waktu lebih dari 28
jam, misalnya siklus menstruasi pada wanita.
Semua bentuk ritme biologis, termasuk ritme circadian,
dipengaruhi oleh faktor internal (endegenous) dan eksternal (exogenous atau disebut denganzeitgebers). Faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Beberapa peneliti
percaya bahwa pusat jam biologis internal ini terletak di suatu area di otak
yang disebut nucleus suprachiasmatic, namun hal ini belum
dapat dibuktikan secara ilmiah dan sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Faktor eksternal berhubungan dengan lingkungan natural di luar tubuh seperti
siklus gelap-terang (siang-malam), suhu ruang, perubahan-perubahan musim,
interaksi sosial dengan indivisu yang lain serta waktu/jam makan yang semuanya
mempengaruhi siklus aktivitas fungsi-fungsi tubuh.
Ritme circadian untuk setiap individu berbeda. Ada individu yang
merasa lebih aktif dan siaga pada siang hari dan ada yang merasa lebih aktif
dan siaga pada malam hari. Pola yang bersifat individu ini disebut chronotype atau tipe circadian
dan ini bersifat alamiah. Artinya, individu dapat lahir dengan kecenderungan
tipe circadian tertentu yang tidak mudah berubah, namun dalam batas-batas
tertentu mampu melakukan adaptasi. Kemampuan adaptasi ini dapat dilihat pada
saat seseorang melakukan perjalanan yang melintasi beberapa zona. Pada saat ia
kembali di tempat tujuan untuk beberapa saat ia akan mengalami
ketidakseimbangan yang dikenal dengan istilah jet lag. Menurut Eastman Kodak
Company (1986) dibutuhkan waktu antara 1 – 2 hari untuk menyesuaikan kembali
ritme circadian individu dengan lingkungan alamiah di sekitarnya.
Ada dua tipe circadian, yaitu tipe siang (Morningness) dan tipe malam (Eveningness). Individu yang
termasuk kategori tipe siang (yang sering disebut dengan Larks) adalah individu yang
ritme circadiannya kuarang lebih 2 jam lebih cepat/awal daripada ritme circadian
populasi individu secara keseluruhan. Mereka pada umumnya bangun sekitar pukul
04.00 – 06.00 pagi dan tidur pada pukul 20.00 – 22.00 malam. Sedangkan individu
yang termasuk kategori malam (yang sering disebut dengan istilah owls) adalah individu yang
ritme circadiannya kuarang lebih 2 jam lebih lambat daripada ritme circadian
populasi individu secara keseluruhan. Mereka umumnya bangun sekitar pukul 08.00
– 10.00 pagi dan baru tidur sekitar pukul 24.00 tengah malam – 02.00 pagi.
Perbedaan waktu tidur-bangun antara tipe siang dan tipe malam
sangat jelas terlihat pada saat libur. Orang-orang tipe malam akan bangun lebih
siang daripada orang-orang tipe siang. Tetapi dalam hal lama tidur, tidak ada
perbedaan diantara kedua tipe tersebut.
Selain berbeda dalam waktu tidur-bangun, tipe siang dan
tipe malam juga berbeda dalam hal tingkat tingkat tinggi atau rendahnya
kesiagaan individu. Tingkat kesiagaan tertinggi tipe siang terjadi sekitar
pukul 10.00 siang dan terendah pukul 04.00 pagi, sedangkan tipe malam, tingkat
kesiagaan tertinggi terjadi sekitar pukul 14.00 siang dan terendah sekitar
pukul 08.00 pagi. Perbedaan kesiagaan ini penting untuk diperhatikan karena
jira individu bekerja dalam keadaan kuarang siaga, maka ia akan mudah membuat
kesalahan bahkan dapat menimbulkan kecelakaan verja.
Beberapa studi tentang toleransi terhadap kerja shift malam
menemukan bahwa mereka yang termasuk tipe siang akan lebih sensitif terhadap
mundurnya jam tidur malam, karena jangka waktu (lamanya) tidur malam menjadi
lebih singkat. Ditemukan adanya penurunan tingkat kesegaran (fitness) setelah kerja shift
malam. Kelompok tipe siang juga menunjukkan ketidakpuasan kerja terhadap kerja
shift malam dibandingkan dengan tipe malam dan lebih sering mengalami gangguan
pencernaan dibandingkan dengan tipe malam.
Dalam hubungannya dengan penyesuaian diri ditemukan bahwa tipe
circadian ini merupakan prediktor dari keberhasilan sistem kerja shift rotasi.
Studi longitudinal tentang dampak fisik dan psikososial dari sistem kerja shift
rotasi mengungkapkan bahwa tipe siang lebih sering mendapat kesulitan dengan
jadwal kerja yang mencakup kerja malam dan ditemukan pula adanya
ketidakseimbangan menyesuaikan diri pada kelompok tipe siang dan kelompok
netral. Sebaliknya ditemukan proporsi yang besar dari tipe malam yang stabil
dan “adjusted”.
Salah satu faktor yang mempengaruhi ritme circadian dan pola
tidur-bangun adalah usia. Sejalan dengan bertambahnya usia biasanya antara 40 –
45 tahun, terjadi perubahan pada jam biologis internal yang mempengaruhi koordinasi
antara beberapa fungsi tubuh seperti suhu badan, siklus tidur-bangun dan
tingkat hormon. Perubahan ini menyebabkan tidur menjadi mudah terganggu
terutama pada malam hari.
Menurut Koller, usia kritis bagi pekerja shift adalah usia 40 –
50 tahun. Pada usia tersebut, penyesuaian circadian (terhadap kerja shift)
menjadi lebih lambat dibandingkan dengan pekerja shift yang berusia lebih muda.
Hal ini menandakan bahwa pekerja shift pada usia 40 – 50 tahun memerlukan waktu
yang lebih lama dalam melakukan adaptasi terhadap kerja shift. Selain itu,
tingkat kepuasan terhadap sistem kerja shift rotasi paling rendah ditemukan
pada kelompok usia 41 – 50 tahun.
Ditinjau dari sudut Psikologi Perkembangan, usia 40 – 50 tahun
termasuk kategori masa dewasa madya, yaitu 40 – 60 tahun.Pada masa ini akan
terjadi perubahan fisik, psikologis dan sosial yang semakin jelas dibandingkan
dengan masa dewasa dini (usia 18 – 40 tahun). Perubahan yang terjadi antara
lain yaitu menurunnya kemampuan indera mata dan telinga, meningkatnya tekanan
darah, timbulnya berbagai penyakit, perubahan minat baik dalam hal penampilan,
rekreasi maupun urusan kemasyarakatan.
Pada masa dewasa dini (18 – 40 tahun), kegiatan sosial sering
sangat terbatas karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Pada masa ini
individu pada umumya sudah menyelesaikan pendidikan formal dan masuk pada dunia
kerja dan rumah tangga. Hubungan dengan kelompok teman sebaya menjadi renggang
dan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah terus berkurang. Akibatnya
banyak orang dewasa muda mengalami apa yang oleh Erikson (dalam Hurlock, 1980)
disebut krisis keterasingan , yaitu masa kesepian karena terisolasi dari
kelompok sosial. Tetapi rasa keterasingan ini dikompensasi dengan semangat
bersaing dan keinginan yang kuat untuk maju dalam karir. Oleh karena itu, orang
dewasa muda umumnya mencurahkan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk
pekerjaan. Hanya tersisa sedikit waktu untuk bersosialisasi.
Pada masa dewasa madya (40 – 60 tahun), individu juga mengalami
apa yang dinamakan emptinest, yaitu masa sepi karena anak-anak tidak lagi tinggal bersama
mereka. Setelah bertahun-tahun hidup dalam rumah yang berpusat pada keluarga,
sekarang berpusat pada pasangan suami-istri. Sebagai konsekuensinya, mereka
mempunyai waktu luang untuk melakukan berbagai kegiatan. Mereka dapat lebih
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan masyarakat dan kehidupan sosial.
Mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak melaksanakan kegiatan yang
berorientasi pada masyarakat, mereka mempunyai waktu senggang yang lebih banyak
dibandingkan ketika anak-anak mereka masih kecil.
III. PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Tipe Kepribadian, Tipe
Sirkadian Dengan Sikap Terhadap Sistem Kerja Shift Rotasi
Dari beberapa teori yang telah dijelaskan dan beberapa hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap sistem kerja shift rotasi
dapat bersifat negatif ataupun positif. Pekerja bersikap negatif antara lain
karena sistem kerja shift rotasi menimbulkan gangguan tidur, pola makan menjadi
tidak baik dan kehidupan sosial terganggu. Di sisi lain, pekerja yang bersikap
positif beranggapan bahwa sistem kerja shift rotasi dapat meningkatkan
pendapatan, memberikan lebih banyak waktu luang pada siang hari, memberikan
lingkungan kerja yang sepi, jumlah supervisor lebih sedikit, dan dapat
dijadikan sebagai alasan untuk tidak melakukan sesuatu.
Perbedaan sikap ini ada hubungannya dengan tipe kepribadian.
Pekerja yang memiliki kecenderungan extravert diduga menunjukkan
sikap yang positif terhadap sistem kerja shift rotasi. Mereka lebih toleran
terhadap sistem kerja shift tersebut dibandingkan dengan tipe introvert (Vidazek, dalam Harma
1993). Sebaliknya, pekerja dengan kecenderungan introvert diduga menunjukkan
sikap yang negatif terhadap sistem kerja shift rotasi. Toleransi mereka
terhadap sistem kerja shift tersebut lebih rendah dibandingkan tipe extravert. Oleh karena itu,
sikapnya diduga cenderung negatif.
Selain tipe kepribadian, prediktor dari sikap terhadap sistem
kerja shift rotasi adalah tipe sirkadian yaitu tipe siang dan tipe malam.
Mereka yang termasuk tipe malam mempunyai toleransi yang lebih baik terhadap
sistem kerja shift rotasi, dibandingkan dengan mereka yang termasuk tipe siang.
Oleh karena itu, diduga mereka yang tergolong tipe malam memiliki sikap yang
positif terhadap sistem kerja shift rotasi
Faktor demografi yang diduga dapat mempengaruhi hubungan antara
sirkadian dengan sikap terhadap sistem kerja shift rotasi adalah usia. Usia
mempengaruhi penyesuaian sirkadian. Pekerja shift usia 40-50 tahun, penyesuaian
sirkadiannnya lebih lambat dibandingkan dengan pekerja shift yang lebih muda.
Oleh karena itu diduga akan ada perbedaan hasil korelasi antara tipe sirkadian
dengan sikap terhadap sistem kerja shift rotasi pada kelompok usia di bawah 40 tahun
dan pada kelompok usia di atas 40 tahun sebagai akibat pengaruh faktor usia.
Hai, boleh tanya daftar pustakanya? Trims :)
BalasHapusDaftar Pustaka dong...
BalasHapus