Pulau
Bepondi adalah salah satu pulau dari 92 pulau terdepan yang diidentifikasi oleh
pemerintah. Pulau dengan luas 2,2 km ini dihuni oleh sekitar 500 jiwa dengan
mayoritas bekerja sebagai nelayan. Pulau ini, secara administrative, termasuk
di wilayah Kabupaten Biak Numfor. Tak banyak data yang berhasil diperoleh,
inilah salah satu masalah yang melanda pulau-pulau terdepan yang selalu identik
dengan kata miskin, terbelakang, dan terpencil.
Memang, masalah
perbatasan dan pulau-pulau terdepan masih merupakan salah satu pekerjaan rumah
yang belum dapat diselesaikan oleh bangsa ini. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan beberapa tahun
silam merupakan puncak gunung es masalah perbatasan. Dalam sejarah perjalanan bangsa
ini, masalah perbatasan memang mendapatkan perhatian dari pemerintah, hanya
saja tingkat keseriusannya masih harus dipertanyakan. Semasa pemerintahan orde
lama, yang otoriter dengan demokrasi terpimpinnya, isu perbatasan digunakan
sebagai salah satu alat untuk memupuk rasa nasionalisme di tengah konflik
ideology di dalam negeri, yaitu
nasionalis, komunis, dan Islam. Selain itu, isu perbatasan juga digunakan sebagai pengalihan terhadap masalah ekonomi yang mendera masyarakat pada
masa itu, yaitu inflasi lebih dari 600%.[1]
Dapat kita sebut operasi Trikora dan
seruan “Ganyang Malaysia” sebagai contohnya. Di masa ini, Pulau Bepondi
merupakan salah satu dari beberapa pulau yang ikut diperebutkan oleh Indonesia
lewat operasi Trikora.
Di masa
orde baru juga tidak lebih baik. Pemerintahan orba yang otoriter dan
sentralistis menyebabkan wlayah-wilayah yang berada di luar pusat pemerintahan (pulau
Jawa pada umumnya dan Jakarta pada khususnya) kurang diperhatikan dan cenderung
diabaikan. Wilayah-wilayah perbatasan yang menjadi perhatian pemerintah pada
saat itu hanya wilayah-wilayah yang mengandung benih separatism, sebut saja Aceh,
Timor Timur dan Papua. Pemerintahan orde
baru mempunyai keyakinan bahwa pembangunan pesat di pusat akan mampu memberikan
efek kepada daerah-daerah pinggiran, trickle
down effect.[2]
Namun pada kenyataanya, yang terjadi justru sebaliknya. Wilayah-wilayah di luar
pusat menjadi “sapi perah” sebagai tumbal pembangunan yang dilakukan di pusat.
Sumber daya alam yang kaya di luar daerah pusat dieksploitasi habis-habisan,
tanpa menyisakan sedikit kemakmuran kepada daerah pinggiran, terutama
perbatasan. Akibatnya, wilayah perbatasan & pulau-pulau terdepan menjadi
terbelakang, miskin, dan terpencil. Secara umum, kondisi wilayah Papua sama
seperti yang telah digambarkan diatas, dieksploitasi habis-habis, terutama oleh
Freeport.Ssedangkan Pulau Bepondi sendiri tidak tersentuh sama sekali oleh
pemerintah orba, karena tidak ada sumber daya alam yang dapat dijamah.
Demokratisasi yang dilakukan pasca orba
menandai terjadinya suatu era
keterbukaan informasi dimana informasi mulai tersebar secara luas tanpa
adanya control dari pemerintah. Isu-isu perbatasan tak lagi menjadi makanan
elit pemerintah, tetapi juga menjadi perhatian masyarakat sipil (civil society). Pada masa ini mulai
muncul lsm-lsm dan berbagai lembaga penelitian yang mengkaji masalah perbatasan,
dan tak hanya itu mereka juga turut membantu dalam proses pemberdayaan
masyarakat di perbatasan dan pulau-pulau terdepan. Dalam kaitannya dengan hal ini, UI sebagai salah satu bagian dari civil society juga telah memberikan
andilnya dalam penjagaan perbatasan dan pulau-pulau terdepan lewat program K2N-nya.
Program-program
kegiatan yang dilakukan di K2N merupakan salah satu cara untuk menghilangkan
stigma miskin, terbelakang, dan terpencil yang ada pada pulau-pulau terdepan
dan wilayah perbatasan. Program-program yang dilakukan merupakan program
pengembangan di bidang ekonomi (lewat program pengembangan wisata dan pelatihan
manajemen & koperasi), hukum, kesehatan (penyuluhan bahaya narkoba, jamban
sehat, dsb), sosial & budaya (pemberdayaan perempuan, rumah baca, dsb). Di
sini, saya sebagai mahasiswa politik, merasa ada yang kurang, hal itu adalah
pengembangan di bidang politik yaitu lewat pendidikan politik. Pendidikan
politik merupakan langkah untuk menjadikan warga negara sebagai subjek politik,
yaitu pihak yang ikut menentukan jalannya perpolitikan, dan bukan sebagai objek
politik, yaitu pihak yang hanya diperas suaranya saja di pemilihan.
Manajemen Perbatasan: pembangunan, demokrasi,
diplomasi, dan pertahanan
Rizal
Sukma, mengemukakan konsep tentang terintegrasinya empat dimensi ke dalam
kerangka kebijakan nasional sebagai upaya mengelola perbatasan, yaitu:
pembangunan, demokrasi, diplomasi, dan pertahanan.[3]
Pembangunan yang dimaksud di sini adalah pembangunan di bidang sosial, ekonomi,
dan budaya. Pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan & buta huruf,
penyuluhan kesehatan merupakan beberapa contohnya. Dimensi demokrasi lebih
menitikberatkan pada aspek politik dan hukum. Contoh yang dapat diberikan di
sini adalah pendidikan politik, pembangunan institusi-institusi politik yang
kuat dan mapan, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dsb. Dimensi diplomasi
menitikberatkan pada hubungan antara Indonesia dengan negara lain, yang juga
berperan sebagai upaya mengurangi “gesekan” dengan negara tetangga tentang
wilayah perbatasan. Sedangkan dimensi pertahanan menitikberatkan pada aspek
militer, tentang bagaimana militer melakukan penjagaan terhadap wilayah-wilayah
perbatasan.
Dimensi
demokrasi penting dikemukakan sebagai salah satu pilar menopang persatuan &
kesatuan, dalam hal ini wilayah perbatasan dan pulau terdepan. Demokrasi yang
dipilih oleh rakyat Indonesia pasca orde baru mensyaratkan adanya partisipasi
luas dari rakyat itu sendiri, sedangkan elit politik tak lebih dari fasilitator
dan perpanjangan dari aspirasi rakyat. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia,
penduduk pulau terdepan juga harus terlibat dalam proses demokrasi ini. Keterisolasian
dan belitan kemiskinan menyebabkan penduduk pulau terdepan kurang atau bahkan
tidak “melek” politik, akibatnya mereka tidak pernah menyuarakan kepentingan
mereka sebagai warga negara, dan kalau pun ada sangat sedikit dengan ciri
pergerakan yang kurang solid. Dengan menggunakan pandangan ini sebagai
dasarnya, saya merasa pendidikan politik ,sebagai bagian dari dimensi
demokrasi, penting untuk dilakukan di pulau-pulau terdepan.
Pendidikan Politik
Sebelumnya
telah dibahas secara singkat bahwa tujuan pendidikan politik adalah menjadikan
warga negara sebagai subjek politik, atau dengan kata lain menjadikan warga
negara menjadi lebih kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sistem politik, fungsi pendidikan politik
diserahkan kepada partai politik.
Kampanye dan rekrutmen anggota merupakan contoh pendidikan politik yang dilakukan
oleh parpol. Dalam sistem demokratis fungsi pendidikan politik tak hanya
menjadi dominasi parpol saja, tiap elemen masyarakat mempunyai fungsi ini,
terlebih kalangan akademisi.
Dalam
kegiatan K2N ini, kita sebagai mahasiswa dapat melakukan pendidikan politik
kepada warga, khususnya yang telah berusia > 17 tahun. Yang pertama kita
lakukan adalah memberikan penyuluhan tentang konsep hak asasi manusia (HAM), sebagai
dasar dari demokrasi, lewat diskusi-diskusi. Diskusi dapat dilaksanakan pada
malam, atau siang hari di saat warga
sedang senggang. Di Pulau Bepondi yang rata-rata penduduknya berprofesi sebagai
nelayan, kegiatan ini dilakukan di saat para nelayan belum pergi ke laut. Kita tidak harus mengundang
warga untuk datang ke tempat kita, kita
dapat “nimbrung” bersama warga saat makan siang ataupun makan malam. Sembari makan, kita ajak mereka
berdiskusi tentang HAM. Materi nya adalah pengenalan terhadap hak-hak apa saja
yang melekat (baik yang dipisahkan ataupun yang tak terpisahkan). Selanjutnya adalah materi tentang penggunaan
HAM dalam relasi antar warga.
Materi
kedua setelah HAM adalah materi tentang demokrasi. Di sini kita akan
menjelaskan tentang apa itu demokrasi,
serta hubungan antara HAM dengan demokrasi. Tidak perlu menjelaskan asal-usul
demokrasi, kita cukup menjelaskan pengertian umum dari demokrasi, yang garis
besarnya adalah keaktivan rakyat dalam mengelola pemerintah. Di sini kita dapat
menjelaskan tentang relasi antara warga dengan negara, apa saja hak dan
kewajiban baik warga maupun negara, serta dampak yang akan diterima bila salah
satu pihak mengabaikan hak atau kewajibannya. Proses pelaksanaanya sama seperti
yang dilakukan dengan materi HAM sebelumnya, lewat diskusi informal. Atau bila
perlu kita buat suatu diskusi yang agak informal dimana kita menyiapkan
materi-materi diskusi, misalnya bahan bacaan
berupa artikel dari koran/majalah. Di dalam diskusi yang agak informal
ini kita dapat membagi warga menjadi kelompok (focus group discussion), dimana tiap kelompok membahas bahan bacaan
yang difasilitatori oleh kita.
Selain
berupa diskusi, kita juga dapat membuat suatu permainan tentang proses di parlemen
dimana kelompok dianggap sebagai faksi di parlemen yang akan membahas suatu
isu. Tiap kelompok diberikan bahan berupa suatu isu kemudian didiskusikan di
internal kelompok. Setelah kesepahaman tentang isu di internal tercapai,
pendapat tiap kelompok kemudian diutarakan dalam sidang, dimana semua kelompok
hadir. Di sini kita (mahasiswa) berperan sebagai pimpinan sidang, dan salah
satu anggota kelompok untuk membimbing warga. Setelah semua mengutarakan
pendapatnya, kita berikan waktu istirahat untuk proses lobi antar kelompok.
Pada saat inilah mahasiswa yang ada di tiap kelompok mengajari warga bagaimana
melobi anggota kelompok yang lain. Setelah masa istirahat selesai, sidang
kembali dibuka dan tiap faksi/kelompok memberikan pendapatnya kembali, bila
belum tercapai kesepakatan maka voting dilakukan. Permainan ini hanya sekedar
mengenalkan kepada warga bagaimana proses politik itu dilakukan.
Terdapat
beberapa kesulitan yang akan kita temui dalam pelaksanaan ide ini. Kesulitan
pertama yang akan kita temui adalah ketidakpahaman mereka soal konsepsi HAM dan
demokrasi yang menyebabkan diskusi menjadi sulit berjalan. Solusinya adalah, di
pertemuan awal kita dapat bertanya tentang hubungan antara warga yang satu
dengan yang lain. Dari situ kita akan dapat menemukan hak-hak apa saja yang
melekat, secara tradisional. Setelah itu baru kita mulai menyambungkan konsepsi
HAM kita dengan konsep mereka. Bila mereka telah menjelaskan bagaimana hubungan
antar warga, maka kita dapat menjelaskan hubungan antara warga dengan negara,
termasuk hak-hak sebagai warga negara.
Kesulitan
kedua yang mungkin akan kita temui adalah keengganan warga untuk berdiskusi
tentang masalah politik. Stigma bahwa politik itu kotor, saya rasa, telah
diimani oleh sebagian besar masyarakat kita, dan mungkin juga warga di kepulauan terdepan. Tingkah laku yang dipertontonkan
oleh elit politik kita yang kurang dewasa dalam berpolitik serta tidak
tercapainya harapan masyarakat saat memilih elit menyebabkan stigma ini terus
melekat.[4]
Masyarakat cenderung menjadi apatis terhadap hal-hal yang berbau politik. Setelah beberapa kali ikut dalam
penelitian tentang partisipasi politik masyarakat, sebagian masyarakat
mengikuti pemilihan umum pun cuma sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai
warga negara. Solusinya adalah memberikan kesadaran kepada warga bahwa elit
yang telah dipilih tidak lepas begitu saja dari pengawasan para pemilih,
pemilih dapat menggugat sang elit dengan berbagai macam cara.
Meskipun
kesulitan-kesulitan yang lain masih ada, saya rasa pendidikan politik ini tetap
perlu kita lakukan untuk warga pulau terdepan dan perbatasan. Sebagai warga
negara mereka juga harus mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lain.
Bila pemerintah tidak dapat memberikan pendidikan politik kepada warga pulau
terdepan dan perbatasan, maka kitalah
yang akan melakukannya!
[1] CDC FT UI, Ali Sadikin, diperoleh dari http://cdc.eng.ui.ac.id/?mod=art&id=46 (diakses pada 7 Maret 2010, pukul 11.51 WIB)
[2] Priyo Subekti, “Industrialisasi dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat“ http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=109 (diakses pada 7 Maret 2010, pukul 10.43 WIB)
[3] Aditya Batara & Beni
Sukadis (ed), Reformasi Manajemen
Perbatasan di Negara-Negara Transisi Demokrasi, (Jakarta: LESPERSSI, 2007),
hal.26 yang mengutip Rizal Sukma, War
will never solve our problem, (Harian the Jakarta Post, 21 Maret 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar