Rabu, 06 Juni 2012

Pendidikan Politik untuk Masyarakat di Perbatasan & Pulau-Pulau Terdepan


Pulau Bepondi adalah salah satu pulau dari 92 pulau terdepan yang diidentifikasi oleh pemerintah. Pulau dengan luas 2,2 km ini dihuni oleh sekitar 500 jiwa dengan mayoritas bekerja sebagai nelayan. Pulau ini, secara administrative, termasuk di wilayah Kabupaten Biak Numfor. Tak banyak data yang berhasil diperoleh, inilah salah satu masalah yang melanda pulau-pulau terdepan yang selalu identik dengan kata miskin, terbelakang, dan terpencil.
Memang, masalah perbatasan dan pulau-pulau terdepan masih merupakan salah satu pekerjaan rumah yang belum dapat diselesaikan oleh bangsa ini.  Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan beberapa tahun silam merupakan puncak gunung es masalah perbatasan. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, masalah perbatasan memang mendapatkan perhatian dari pemerintah, hanya saja tingkat keseriusannya masih harus dipertanyakan. Semasa pemerintahan orde lama, yang otoriter dengan demokrasi terpimpinnya, isu perbatasan digunakan sebagai salah satu alat untuk memupuk rasa nasionalisme di tengah konflik ideology  di dalam negeri, yaitu nasionalis, komunis, dan Islam. Selain itu, isu perbatasan juga digunakan sebagai  pengalihan terhadap  masalah ekonomi yang mendera masyarakat pada masa itu, yaitu inflasi lebih dari 600%.[1] Dapat kita sebut operasi Trikora dan  seruan “Ganyang Malaysia” sebagai contohnya. Di masa ini, Pulau Bepondi merupakan salah satu dari beberapa pulau yang ikut diperebutkan oleh Indonesia lewat operasi Trikora.
Di masa orde baru juga tidak lebih baik. Pemerintahan orba yang otoriter dan sentralistis menyebabkan wlayah-wilayah yang berada di luar pusat pemerintahan (pulau Jawa pada umumnya dan Jakarta pada khususnya) kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan. Wilayah-wilayah perbatasan yang menjadi perhatian pemerintah pada saat itu hanya wilayah-wilayah yang mengandung benih separatism, sebut saja Aceh, Timor Timur dan Papua.  Pemerintahan orde baru mempunyai keyakinan bahwa pembangunan pesat di pusat akan mampu memberikan efek kepada daerah-daerah pinggiran, trickle down effect.[2] Namun pada kenyataanya, yang terjadi justru sebaliknya. Wilayah-wilayah di luar pusat menjadi “sapi perah” sebagai tumbal pembangunan yang dilakukan di pusat. Sumber daya alam yang kaya di luar daerah pusat dieksploitasi habis-habisan, tanpa menyisakan sedikit kemakmuran kepada daerah pinggiran, terutama perbatasan. Akibatnya, wilayah perbatasan & pulau-pulau terdepan menjadi terbelakang, miskin, dan terpencil. Secara umum, kondisi wilayah Papua sama seperti yang telah digambarkan diatas, dieksploitasi habis-habis, terutama oleh Freeport.Ssedangkan Pulau Bepondi sendiri tidak tersentuh sama sekali oleh pemerintah orba, karena tidak ada sumber daya alam yang dapat dijamah.
 Demokratisasi yang dilakukan pasca orba menandai terjadinya suatu era  keterbukaan informasi dimana informasi mulai tersebar secara luas tanpa adanya control dari pemerintah. Isu-isu perbatasan tak lagi menjadi makanan elit pemerintah, tetapi juga menjadi perhatian masyarakat sipil (civil society). Pada masa ini mulai muncul lsm-lsm dan berbagai lembaga penelitian yang mengkaji masalah perbatasan, dan tak hanya itu mereka juga turut membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat di perbatasan dan pulau-pulau terdepan.  Dalam kaitannya dengan hal ini,  UI sebagai salah satu bagian dari civil society juga telah memberikan andilnya dalam penjagaan perbatasan dan pulau-pulau terdepan  lewat program K2N-nya.
Program-program kegiatan yang dilakukan di K2N merupakan salah satu cara untuk menghilangkan stigma miskin, terbelakang, dan terpencil yang ada pada pulau-pulau terdepan dan wilayah perbatasan. Program-program yang dilakukan merupakan program pengembangan di bidang ekonomi (lewat program pengembangan wisata dan pelatihan manajemen & koperasi), hukum, kesehatan (penyuluhan bahaya narkoba, jamban sehat, dsb), sosial & budaya (pemberdayaan perempuan, rumah baca, dsb). Di sini, saya sebagai mahasiswa politik, merasa ada yang kurang, hal itu adalah pengembangan di bidang politik yaitu lewat pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan langkah untuk menjadikan warga negara sebagai subjek politik, yaitu pihak yang ikut menentukan jalannya perpolitikan, dan bukan sebagai objek politik, yaitu pihak yang hanya diperas suaranya saja di pemilihan.

Manajemen Perbatasan: pembangunan, demokrasi, diplomasi, dan pertahanan
Rizal Sukma, mengemukakan konsep tentang terintegrasinya empat dimensi ke dalam kerangka kebijakan nasional sebagai upaya mengelola perbatasan, yaitu: pembangunan, demokrasi, diplomasi, dan pertahanan.[3] Pembangunan yang dimaksud di sini adalah pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan & buta huruf, penyuluhan kesehatan merupakan beberapa contohnya. Dimensi demokrasi lebih menitikberatkan pada aspek politik dan hukum. Contoh yang dapat diberikan di sini adalah pendidikan politik, pembangunan institusi-institusi politik yang kuat dan mapan, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dsb. Dimensi diplomasi menitikberatkan pada hubungan antara Indonesia dengan negara lain, yang juga berperan sebagai upaya mengurangi “gesekan” dengan negara tetangga tentang wilayah perbatasan. Sedangkan dimensi pertahanan menitikberatkan pada aspek militer, tentang bagaimana militer melakukan penjagaan terhadap wilayah-wilayah perbatasan.
Dimensi demokrasi penting dikemukakan sebagai salah satu pilar menopang persatuan & kesatuan, dalam hal ini wilayah perbatasan dan pulau terdepan. Demokrasi yang dipilih oleh rakyat Indonesia pasca orde baru mensyaratkan adanya partisipasi luas dari rakyat itu sendiri, sedangkan elit politik tak lebih dari fasilitator dan perpanjangan dari aspirasi rakyat. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, penduduk pulau terdepan juga harus terlibat dalam proses demokrasi ini. Keterisolasian dan belitan kemiskinan menyebabkan penduduk pulau terdepan kurang atau bahkan tidak “melek” politik, akibatnya mereka tidak pernah menyuarakan kepentingan mereka sebagai warga negara, dan kalau pun ada sangat sedikit dengan ciri pergerakan yang kurang solid. Dengan menggunakan pandangan ini sebagai dasarnya, saya merasa pendidikan politik ,sebagai bagian dari dimensi demokrasi, penting untuk dilakukan di pulau-pulau terdepan.

Pendidikan  Politik
Sebelumnya telah dibahas secara singkat bahwa tujuan pendidikan politik adalah menjadikan warga negara sebagai subjek politik, atau dengan kata lain menjadikan warga negara menjadi lebih kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam  sistem politik, fungsi pendidikan politik diserahkan kepada partai politik.  Kampanye dan rekrutmen anggota merupakan contoh pendidikan politik yang dilakukan oleh parpol. Dalam sistem demokratis fungsi pendidikan politik tak hanya menjadi dominasi parpol saja, tiap elemen masyarakat mempunyai fungsi ini, terlebih kalangan akademisi.
Dalam kegiatan K2N ini, kita sebagai mahasiswa dapat melakukan pendidikan politik kepada warga, khususnya yang telah berusia > 17 tahun. Yang pertama kita lakukan adalah memberikan penyuluhan tentang konsep hak asasi manusia (HAM), sebagai dasar dari demokrasi, lewat diskusi-diskusi. Diskusi dapat dilaksanakan pada malam, atau siang hari  di saat warga sedang senggang. Di Pulau Bepondi yang rata-rata penduduknya berprofesi sebagai nelayan, kegiatan ini dilakukan di saat para nelayan belum  pergi ke laut. Kita tidak harus mengundang warga untuk datang ke tempat kita,  kita dapat “nimbrung” bersama warga saat makan siang ataupun makan  malam. Sembari makan, kita ajak mereka berdiskusi tentang HAM. Materi nya adalah pengenalan terhadap hak-hak apa saja yang melekat (baik yang dipisahkan ataupun yang tak terpisahkan).  Selanjutnya adalah materi tentang penggunaan HAM dalam  relasi antar warga.
Materi kedua setelah HAM adalah materi tentang demokrasi. Di sini kita akan menjelaskan tentang  apa itu demokrasi, serta hubungan antara HAM dengan demokrasi. Tidak perlu menjelaskan asal-usul demokrasi, kita cukup menjelaskan pengertian umum dari demokrasi, yang garis besarnya adalah keaktivan rakyat dalam mengelola pemerintah. Di sini kita dapat menjelaskan tentang relasi antara warga dengan negara, apa saja hak dan kewajiban baik warga maupun negara, serta dampak yang akan diterima bila salah satu pihak mengabaikan hak atau kewajibannya. Proses pelaksanaanya sama seperti yang dilakukan dengan materi HAM sebelumnya, lewat diskusi informal. Atau bila perlu kita buat suatu diskusi yang agak informal dimana kita menyiapkan materi-materi diskusi, misalnya bahan bacaan  berupa artikel dari koran/majalah. Di dalam diskusi yang agak informal ini kita dapat membagi warga menjadi kelompok (focus group discussion), dimana tiap kelompok membahas bahan bacaan yang difasilitatori oleh kita.
Selain berupa diskusi, kita juga dapat membuat suatu permainan tentang proses di parlemen dimana kelompok dianggap sebagai faksi di parlemen yang akan membahas suatu isu. Tiap kelompok diberikan bahan berupa suatu isu kemudian didiskusikan di internal kelompok. Setelah kesepahaman tentang isu di internal tercapai, pendapat tiap kelompok kemudian diutarakan dalam sidang, dimana semua kelompok hadir. Di sini kita (mahasiswa) berperan sebagai pimpinan sidang, dan salah satu anggota kelompok untuk membimbing warga. Setelah semua mengutarakan pendapatnya, kita berikan waktu istirahat untuk proses lobi antar kelompok. Pada saat inilah mahasiswa yang ada di tiap kelompok mengajari warga bagaimana melobi anggota kelompok yang lain. Setelah masa istirahat selesai, sidang kembali dibuka dan tiap faksi/kelompok memberikan pendapatnya kembali, bila belum tercapai kesepakatan maka voting dilakukan. Permainan ini hanya sekedar mengenalkan kepada warga bagaimana proses politik itu dilakukan.
Terdapat beberapa kesulitan yang akan kita temui dalam pelaksanaan ide ini. Kesulitan pertama yang akan kita temui adalah ketidakpahaman mereka soal konsepsi HAM dan demokrasi yang menyebabkan diskusi menjadi sulit berjalan. Solusinya adalah, di pertemuan awal kita dapat bertanya tentang hubungan antara warga yang satu dengan yang lain. Dari situ kita akan dapat menemukan hak-hak apa saja yang melekat, secara tradisional. Setelah itu baru kita mulai menyambungkan konsepsi HAM kita dengan konsep mereka. Bila mereka telah menjelaskan bagaimana hubungan antar warga, maka kita dapat menjelaskan hubungan antara warga dengan negara, termasuk hak-hak sebagai warga negara.
Kesulitan kedua yang mungkin akan kita temui adalah keengganan warga untuk berdiskusi tentang masalah politik. Stigma bahwa politik itu kotor, saya rasa, telah diimani oleh sebagian besar masyarakat kita, dan  mungkin juga warga di kepulauan  terdepan. Tingkah laku yang dipertontonkan oleh elit politik kita yang kurang dewasa dalam berpolitik serta tidak tercapainya harapan masyarakat saat memilih elit menyebabkan stigma ini terus melekat.[4] Masyarakat cenderung menjadi apatis terhadap hal-hal yang berbau  politik. Setelah beberapa kali ikut dalam penelitian tentang partisipasi politik masyarakat, sebagian masyarakat mengikuti pemilihan umum pun cuma sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai warga negara. Solusinya adalah memberikan kesadaran kepada warga bahwa elit yang telah dipilih tidak lepas begitu saja dari pengawasan para pemilih, pemilih dapat menggugat sang elit dengan berbagai macam cara.
Meskipun kesulitan-kesulitan yang lain masih ada, saya rasa pendidikan politik ini tetap perlu kita lakukan untuk warga pulau terdepan dan perbatasan. Sebagai warga negara mereka juga harus mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lain. Bila pemerintah tidak dapat memberikan pendidikan politik kepada warga pulau terdepan  dan perbatasan, maka kitalah yang akan melakukannya!


[1] CDC FT UI, Ali Sadikin, diperoleh dari http://cdc.eng.ui.ac.id/?mod=art&id=46 (diakses pada 7 Maret 2010, pukul 11.51 WIB)
[2] Priyo Subekti, “Industrialisasi dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat“ http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=109 (diakses pada 7 Maret 2010, pukul 10.43 WIB)
[3] Aditya Batara & Beni Sukadis (ed), Reformasi Manajemen Perbatasan di Negara-Negara Transisi Demokrasi, (Jakarta: LESPERSSI, 2007), hal.26 yang mengutip Rizal Sukma, War will never solve our problem, (Harian the Jakarta Post,  21 Maret 2005)
[4] Agung Widjaja, “Tiga Defisit Politik Lokal”, (majalah Tempo, 3 April 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar